Selama lebih dari tiga dekade, Indonesia telah mengadopsi skema kemitraan pemerintah dan badan usaha (KPBU) untuk menjembatani kesenjangan infrastruktur. Premisnya sederhana: menghadirkan modal dan keahlian swasta untuk membangun jalan, pembangkit listrik, sistem air, dan fasilitas publik—tanpa membebani anggaran negara secara berlebihan. Namun, terlepas dari dorongan kebijakan, reformasi institusional, dan berbagai proyek percontohan selama bertahun-tahun, hasil yang terlihat masih sangat minim.
Proyek seringkali tertunda, melewati anggaran, atau terjebak dalam ketidakpastian hukum dan prosedur. Kesepakatan yang bankable langka. Mekanisme pembagian risiko belum matang. Dan meskipun negara terus mengusung KPBU sebagai bagian kunci dari strategi pembangunan, jalur proyek yang ada tetap tipis, lambat, dan mahal.
Lalu, apa yang salah? Mengapa setelah lebih dari 30 tahun mencoba, Indonesia masih gagal memaksimalkan potensi sejati dari KPBU?
Kesenjangan Value for Money (VfM)
Secara global, KPBU dibenarkan bukan hanya karena kemampuannya mengalihkan beban anggaran negara, tetapi karena janjinya akan value for money (VfM)—penyediaan infrastruktur publik yang tidak hanya lebih murah dalam jangka panjang, tetapi juga berkualitas lebih tinggi, lebih cepat dibangun, dan lebih efisien dioperasikan.
Menurut standar internasional—termasuk yang dirumuskan OECD dan dalam riset seperti Developing a Standardized Assessment for PPP Infrastructure Project (Lubis & Majid, 2013)—empat faktor utama untuk mewujudkan VfM dalam kemitraan infrastruktur adalah:
Namun, biaya dana yang lebih murah bukanlah solusi tunggal. Itu hanya bermanfaat jika uang digunakan secara efisien—untuk proyek yang dipersiapkan dengan baik, secara teknis kuat, dan dengan struktur risiko yang tepat. Dalam kasus Indonesia, tantangannya bukan hanya soal modal—tetapi bagaimana mengelolanya. Banyak proyek yang masih belum memiliki studi kelayakan yang memadai, izin lingkungan, atau kepastian hukum. Artinya, bahkan dana murah pun bisa menjadi sia-sia.
Ini bukan hanya masalah teoritis. Di berbagai negara—dari jalan tol bandara Korea hingga proyek terowongan Sydney—kita telah melihat bagaimana pembagian risiko yang buruk bisa menyebabkan kerugian publik besar. Indonesia menghadapi risiko yang sama jika tidak segera membangun kapasitas teknis untuk mengelola risiko secara disiplin dan transparan.
Banyak instansi pemerintah kekurangan staf, alat, atau kewenangan untuk mengelola kontrak KPBU jangka panjang yang kompleks. Pemantauan kinerja lemah. Penegakan aturan tidak konsisten. Koordinasi antar-lembaga pun seringkali terpecah-pecah. Akibatnya, efisiensi yang dijanjikan jarang terwujud. KPBU hanya menjadi model pengadaan lain tanpa perbaikan nyata dalam biaya, waktu, atau kualitas.
KPBU sering dijustifikasi atas dasar kemampuan inovasi sektor swasta. Tapi inovasi hanya akan berarti jika sistem pemerintah dirancang untuk mengenali dan menghargainya. Di Indonesia, spesifikasi proyek cenderung kaku, proses pengadaan hanya fokus pada harga terendah, dan tim penilai pemerintah seringkali tidak memiliki kapasitas untuk mengevaluasi pendekatan inovatif.
Hal ini membuat pelaku terbaik enggan ikut serta dan membatasi ruang kreativitas. Akibatnya, Indonesia jarang mendapatkan nilai penuh dari apa yang sebenarnya bisa ditawarkan sektor swasta—khususnya di sektor energi, infrastruktur digital, dan transportasi, di mana inovasi desain dan pelaksanaan bisa memberikan efisiensi dan dampak nyata.
Inggris, pelopor KPBU melalui skema Private Finance Initiative (PFI), sempat melakukan kesalahan awal. Kontrak jangka panjang yang buruk menyebabkan hasil yang kurang optimal. Namun, seiring waktu, Inggris mengembangkan metode yang ketat: kontrak standar, analisis biaya siklus hidup, pembanding sektor publik (PSC), dan penilaian VfM yang transparan. Meski akhirnya menghentikan PFI, evolusi ini memberikan pelajaran penting soal tata kelola KPBU yang baik.
Kanada bahkan lebih sistematis. Provinsi seperti Ontario dan British Columbia membentuk lembaga seperti Infrastructure Ontario yang menetapkan proses evaluasi yang detail, transparan, dan akuntabel. Setiap proyek dinilai secara ketat di semua tahap, dengan garis akuntabilitas yang jelas, kontrak berbasis kinerja, dan mekanisme transfer risiko yang kuat. Hasilnya? Proyek KPBU di Kanada nyaris selalu selesai tepat waktu dan sesuai anggaran, dengan dukungan publik yang tinggi.
Kedua negara menunjukkan bahwa KPBU bukan jalan pintas. Ia adalah model pelaksanaan jangka panjang yang kompleks, yang hanya bisa berhasil jika didukung institusi publik yang kuat, standar yang jelas, dan sumber daya manusia yang kompeten.
Indonesia, sayangnya, masih jauh dari praktik terbaik internasional. Tata kelola KPBU masih tersebar di banyak kementerian dan lembaga. Kapasitas institusional tidak merata. Penilaian risiko lemah. Persiapan proyek minim pendanaan. Dan evaluasi VfM yang terstandarisasi—seperti yang dipersyaratkan OECD atau Bank Dunia—belum dijalankan secara konsisten.
Studi Lubis dan Majid tahun 2013 dengan jelas menunjukkan bahwa banyak negara ASEAN, termasuk Indonesia, masih memilih KPBU berdasarkan biaya awal, bukan nilai penuh sepanjang siklus proyek atau penghematan yang disesuaikan dengan risiko. Tidak adanya pembanding sektor publik (PSC), lemahnya model alokasi risiko, dan minimnya pengujian keterjangkauan membuat banyak proyek KPBU di Indonesia justru memberikan nilai yang lebih rendah dibanding pengadaan konvensional—meski lebih kompleks dan mahal.
Bahkan dengan dukungan internasional dari NDB atau Bank Dunia, Indonesia tetap perlu kerja keras membangun institusi yang mampu mengelola dan mengawasi KPBU secara profesional.
Agar Indonesia dapat memperoleh manfaat penuh dari KPBU, strategi ke depan harus beralih dari sekadar mendorong proyek menjadi membangun sistem. Itu berarti:
•Menggunakan pembiayaan dari NDB secara strategis, hanya untuk proyek-proyek berkualitas dan telah dinilai secara menyeluruh.
Tiga dekade pengalaman KPBU seharusnya cukup untuk membuktikan bahwa kita bisa lebih baik. Tapi belum terlambat. Dengan reformasi yang tepat, Indonesia masih bisa menjadikan KPBU sebagai alat pembangunan yang benar-benar berdampak—bukan hanya membangun proyek, tapi membangun proyek yang tepat, berkualitas, dan bermanfaat bagi publik.
Negara ini kini menghadapi pilihan: terus menjadikan KPBU sebagai solusi darurat fiskal—atau mengelolanya sebagai kemitraan strategis yang digerakkan oleh kinerja. Hanya pilihan kedua yang akan menghasilkan infrastruktur yang nyata, bernilai, dan berkelanjutan.
Masalah KPBU Indonesia bukan semata soal kapasitas—tapi soal komitmen terhadap standar internasional. Sampai tata kelola infrastruktur, persiapan proyek, dan prosedur evaluasi diperbaiki agar sesuai norma global, janji besar hanya akan menghasilkan output yang tetap kecil.
Harun alrasyid LUBIS / Guru Besar ITB & Chairman IPKC. ( Infrastructure Partnership & Knowledge Center)